Lompat ke isi

Hutan mangrove

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Hutan bakau)
Hutan mangrove di Muara Angke, Jakarta (2007)
Hutan mangrove di Teluk Kendari (2013)
Hutan mangrove di Zambia, Afrika
Hutan mangrove di sekitar Kawasan Wisata Mandeh, Sumatera Barat

Hutan mangrove atau hutan bakau adalah suatu kawasan lahan basah yang umumnya terbentuk di zona intertidal di pesisir laut. Berbeda dengan paya, kawasan hutan mangrove ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan perdu atau pohon berjenis mangrove.[1] Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat terjadinya pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai tempat air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.[2]

Ekosistem hutan mangrove bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas mangrove karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.[3]

Luas dan penyebaran

[sunting | sunting sumber]

Hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.

Luas hutan mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan bakau yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).

Luas bakau di Indonesia mencapai 25 persen dari total luas mangrove di dunia. Namun sebagian kondisinya kritis.[4]

Di Indonesia, hutan mangrove yang luas terdapat di sekitar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.

Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Bakau di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia.

Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan mangrove. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis bakau sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.

Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan mangrove Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudra Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis bakau ikutan, adalah 202 spesies

(Noor dkk, 1999).

Berikut ini adalah daftar suku dan genus bakau sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).

Penyusun utama

[sunting | sunting sumber]
Suku Genus, jumlah spesies
Acanthaceae (syn.: Avicenniaceae atau Verbenaceae) Avicennia (api-api), 9
Combretaceae Laguncularia, 11; Lumnitzera (teruntum), 2
Arecaceae Nypa (nipah), 1
Rhizophoraceae   Bruguiera (kendeka), 6; Ceriops (tengar), 2; Kandelia (berus-berus), 1; Rhizophora (bakau), 8
Sonneratiaceae Sonneratia (pidada), 5

Penyusun minor

[sunting | sunting sumber]
Paku laut, Acrostichum aureum.
Suku Genus, jumlah spesies
Acanthaceae Acanthus (jeruju), 1; Bravaisia, 2
Bombacaceae Camptostemon, 2
Cyperaceae Fimbristylis (mendong), 1
Euphorbiaceae Excoecaria (kayu buta-buta), 2
Lythraceae Pemphis (cantigi laut), 1
Meliaceae Xylocarpus (nirih), 2
Myrsinaceae Aegiceras (kaboa), 2
Myrtaceae Osbornia, 1
Pellicieraceae Pelliciera, 1
Plumbaginaceae   Aegialitis, 2
Pteridaceae Acrostichum (paku laut), 3
Rubiaceae Scyphiphora, 1
Sterculiaceae Heritiera (dungun)2, 3

Lingkungan fisik dan zonasi

[sunting | sunting sumber]
Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.

Jenis tumbuhan hutan mangrove ini berbeda-beda, karena bereaksi terhadap variasi (perubahan) lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut :

Jenis tanah

[sunting | sunting sumber]

Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan mangrove yang tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan mangrove yang tumbuh di atas tanah gambut.

Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.

Terpaan ombak

[sunting | sunting sumber]

Bagian luar atau bagian depan hutan mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.

Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan mangrove juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.

Penggenangan oleh air pasang

[sunting | sunting sumber]

Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.

Menghadapi variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi bakau; yang biasanya berlapis-lapis, mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.

Jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian luar (yang kerap digempur ombak.) Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur.[butuh rujukan] Pada sepanjang garis pantai yang terlindung, sungai yang terpengaruh pasang susut, atau bagian muka teluk menjadi zona pionir untuk spesies api-api hitam (Avicennia alba).[5]

Di bagian yang lebih dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).

Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun kecil (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).

Suksesi hutan mangrove

[sunting | sunting sumber]
Akar-akar pensil api-api memerangkap sampah di Muara Angke

Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan mangrove merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan mangrove pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.

Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan mangrove. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi bakau, dan mulai lah terbentuk vegetasi pionir hutan mangrove.

Tumbuhnya mangrove di suatu tempat bersifat memerangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi bakau. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan mangrove pun akan semakin meluas.

Pada saatnya bagian dalam hutan mangrove akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.

Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan mangrove, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.

Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan mangrove terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.

Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.

Fungsi dan manfaat

[sunting | sunting sumber]

Dari segi ekonomi, hutan mangrove menghasilkan beberapa jenis kayu yang berkualitas baik, dan juga hasil-hasil non-kayu atau yang biasa disebut dengan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), berupa arang kayu; tanin, bahan pewarna dan kosmetik; serta bahan pangan dan minuman. Termasuk pula di antaranya adalah hewan-hewan yang biasa ditangkapi seperti biawak air (Varanus salvator), kepiting bakau (Scylla serrata), udang lumpur (Thalassina anomala), siput bakau (Telescopium telescopium), serta berbagai jenis ikan belodok.

Manfaat yang lebih penting dari hutan mangrove adalah fungsi ekologisnya sebagai pelindung pantai, habitat berbagai jenis satwa, dan tempat pembesaran (nursery ground) banyak jenis ikan laut.

Salah satu fungsi utama hutan mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk semong (tsunami). Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak ancaman semong adalah dengan membangun green belt atau sabuk hijau berupa hutan mangrove. Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah dikategorikan rawan terkena tsunami karena hutan mangrovenya sudah banyak beralih fungsi menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.[4]

Ekowisata

[sunting | sunting sumber]

Mangrove sangat potensial bagi pengembangan ekowisata karena kondisi mangrove yang sangat unik serta model wilayah yang dapat dikembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keasrian hutan serta organisme yang berada pada kawasan mangrove.[6] Potensi jasa lingkungan hutan mangrove sebagai destinasi ekowisata harus dioptimalkan sebagai alternatif pengelolaan hutan atau ekowisata yang lebih ramah lingkungan.[7] Pengembangan wisata mangrove memerlukan kesesuaian sumber daya dan lingkungan yang sesuai dengan yang disyaratkan.[8] Kesesuaian karakteristik sumber daya dan lingkungan untuk pengembangan wisata dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan dan keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumber daya, dan aksesibilitas.

Komunitas mangrove membentuk suatu ekosistem hutan mangrove yang memiliki berbagai potensi kekayaan sumber daya hayati.[9] Selain memiliki potensi kekayaan sumber daya hayati, ekosistem hutan mangrove juga memiliki potensi yang lain yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan yang sangat kaya.[10] Kekayaan hayati dan jasa lingkungan yang dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove ini terdiri atas beragam jenis flora dan fauna yang ada di dalamnya serta bentang alam yang menyajikan keindahan pemandangan ekosistem hutan mangrove. Potensi baik sumberdaya hayati maupun hasil olahan dari mangrove ini dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjunginya.[11]

Tujuan dan daya tarik

[sunting | sunting sumber]

Potensi yang dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove perlu dikelola dengan baik sebagai bentuk dari kegiatan konservasi sumberdaya alam dan sumber daya perairan pesisir. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan hal yang penting yang untuk dilakukan agar lingkungan di kawasan pesisir tetap lestari.[12] Pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan kegiatan ekowisata yang melibatkan unsur pemahaman dan pendidikan terhadap usaha-usaha konservasi. Ekowisata merupakan suatu pilihan yang terbaik karena dapat menunjukan potensi dari ekosistem hutan mangrove dengan keunikan sumber daya alamnya kepada masyarakat agar mereka tertarik untuk berkunjung.[13]

Pembangunan ekowisata mangrove memerlukan perencanaan yang baik dengan memperhatikan berbagai aspek penting seperti aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan pendidikan. Aspek ekologi yang dimaksudkan mengarah kepada fungsi mangrove dalam menjaga kestabilan garis pantai serta sebagai pelindung dari hempasan gelombang dan arus laut.[14] Aspek sosial-ekonomi dalam pembangunan ekowisata mangrove berupa pemanfaatan dari ekosistem hutan mangrove melalui kegiatan ekowisata dengan melibatkan warga sekitar agar dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan mereka. Aspek pendidikan dalam pengembangan ekowisata mangrove berupa pelaksanaan program ekowisata mangrove yang dapat memberikan pemahaman serta pandangan baru kepada pengunjung terhadap pentingnya melakukan pelestarian ekosistem hutan mangrove.

Ekowisata merupakan bentuk kegiatan wisata yang dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan alam sekitar yang dikelola dengan pendekatan konservasi.[15] Pemberdayaan kawasan pesisir hutan mangrove untuk kegiatan ekowisata memiliki potensi menjadi kegiatan new tourism, wisatawan yang datang dapat melakukan kegiatan-kegiatan terdapat di dalam kawasan tersebut yang mengandung unsur pendidikan dan konservasi.[16] Daya tarik ekowisata mangrove memiliki keberagamannya masing-masing, sumber daya alam menjadi salah satu pesona daya tarik ekowisata yang terdapat pada kawasan mangrove. Kegiatan-kegiatan yang menjadi salah satu daya tarik ekowisata mangrove diantaranya:

Fotografi

[sunting | sunting sumber]

Objek-objek yang terdapat di kawasan wisata mangrove dapat dijadikan sebagai objek fotografi seperti flora & fauna yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pemandangan pagi dan sore hari pesisir juga menjadi objek yang menarik perhatian pengunjung sehingga menjadi spot menarik untuk mengabadikan foto.

Kegiatan pengamatan burung

[sunting | sunting sumber]

Kawasan mangrove atau hutan bakau menjadi salah satu habitat dari berbagai burung. Hutan bakau memiliki peran penting sebagai habitat dari berbagai macam jenis ikan, udang, kerang-kerang, dan lain sebagainya. Dikarenakan pada kawasan terdapat banyak sumber nutrien yang menjadi salah satu sumber penting makanan bagi banyak spesies khususnya jenis migratory seperti burung-burung pantai.[17]

Budaya masyarakat sekitar hutan bakau

[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan masyarakat sekitar pesisir mangrove menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Masyarakat sekitar dapat mengolah limbah pohon bakau menjadi suatu kerajinan yang memiliki nilai jual. Pembuatan kerajinan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pesisir merupakan salah satu keterampilan dalam mengelola limbah-limbah yang berasal dari tumbuhan mangrove. Wisatawan yang berkunjung juga dapat mempelajari dan membeli hasil kerajinan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pesisir. Selain kerajinan, pengunjung juga dapat mempelajari budaya khas yang dilakukan oleh masyarakat.

Touring di kawasan mangrove

[sunting | sunting sumber]

Kegiatan ini dilakukan dengan menelusuri kawasan-kawasan yang berada di sekitar mangrove dan melakukan kegiatan yang berhubungan tentang pendidikan lingkungan yang terdapat di kawasan mangrove yang akan didampingi serta dipandu oleh tour guide. Masyarakat diajak untuk bercocok tanam, mengenal flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di kawasan mangrove, serta menikmati kuliner dari olahan berbahan dasar ikan atau biota laut lainnya.

Sarana dan prasarana termasuk faktor penting untuk upaya mendukung daya tarik ekowisata, dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai pengunjung akan mendapatkan kepuasan serta kenyamanan. Sarana dan prasarana tersebut di antaranya:

Perahu yang terdapat di kawasan pesisir mangrove merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan oleh wisatawan yang berkunjung untuk menyelusuri kawasan hutan bakau.

Toko cendera mata

[sunting | sunting sumber]

Toko cendera mata menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang terdapat di kawasan mangrove. Cendera mata yang dijual merupakan hasil kerajinan oleh masyarakat sekitar pesisir mangrove. Tujuan dari adanya toko cendera mata ini untuk melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaan mangrove serta membantu perekonomian masyarakat pesisir.

Papan interpretasi

[sunting | sunting sumber]

Konten-konten yang ada pada papan interpretasi yang dibangun dalam kawasan mangrove mengandung informasi singkat yang membahas kawasan mangrove. Contohnya adalah papan pengenalan jenis tumbuhan mangrove serta gambar peta kawasan mangrove.

Ekowisata mangrove di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Kawasan mangrove Pantai Tanjung Bara Sanggata Kutai Timur memiliki potensi dalam pengembangan ekowisata yang bersifat eksklusif. Salah satu bentuk pengembangan ekowisata eksklusif mangrove dengan memanfaatkan nya sebagai objek ekowisata tanpa menurunkan mutu dari Objek Vital Nasional. Potensi terhadap ekowisata kawasan mangrove yang berdasarkan hasil analisis unsur daya tarik dan penunjang kegiatan yang memiliki nilai dengan klasifikasi tinggi yang sesuai dengan Objek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA).

Kawasan wisata mangrove yang menarik, indah, dan alami akan memberi efek nyaman kepada pengunjung, apalagi dengan fasilitas dan kondisi jalan yang baik. Hal tersebut memberikan kepuasan serta pengalaman bagi para pengunjung. Selain itu, adanya fasilitas pendukung juga ikut menunjang tingkat kenyamanan pengunjung yang disajikan dalam bentuk program, yaitu berupa pengamatan burung, satwa, menikmati keindahan dengan jembatan kayu, memancing, bersampan di antara mangrove, dan fotografi pada kawasan mangrove yang indah sebagai objek.[14]

Ekowisata mangrove di Indonesia dapat ditingkatkan dengan memperhatikan fasilitas dan sarana berdasarkan aspek konservasi, keselamatan, kenyamanan dan kepuasan pengunjung.[18] Penambahan fasilitas dan sarana pada kegiatan ekowisata seperti pada jembatan kayu, menara pandang, pondok informasi, papan interpretasi, areal persemaian, dan perahu kayu. Fasilitas dan sarana yang digunakan harus memiliki sifat alami dan tidak merusak kondisi ekosistem mangrove. Pengembangan dan penambahan fasilitas ini tentunya harus dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang kompeten untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Standar kompetensi yang ditetapkan pengelola dalam pengembangan ekowisata seperti pengetahuan, keterampilan dan sikap. Kemudian untuk pelatihan dan pendidikan terhadap petugas dapat dilakukan bersama pemerintah, perguruan tinggi atau lembaga berkompeten terkait pelatihan untuk petugas, pekerja yang sudah diberikan pendidikan dan pelatihan akan memberikan nilai tambah seperti kepuasan pengunjung pada ekowisata kawasan mangrove.[14]

Pengembangan ekowisata dapat dilakukan melalui website ekowisata. Website tersebut menyediakan informasi yang berisi keindahan alam, kenyamanan, keunikan, dan kekhasan tanaman serta hewan endemik. Kegiatan pengembangan ekowisata dapat dilakukan dengan kerjasama antara pihak pengelola dan pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam upaya pengembangan ekowisata mangrove berbasis konservasi berkelanjutan. Kolaborasi Pemda dengan pihak pengelola dalam mempertahankan kualitas dan kebersihan ekowisata dengan tujuan perlindungan ekowisata mangrove, keterpaduan tata guna lahan, peningkatan koordinasi serta sosialisasi kepada pihak kelembagaan pariwisata, meningkatkan penelitian dan pengembangan keanekaragaman hayati, monitoring, dan evaluasi kegiatan ekowisata mangrove. Daya dukung kawasan dimaksudkan untuk membatasi pemanfaatan yang berlebihan dan mencegah kerusakan ekosistem[19]

Upaya pelestarian mangrove melalui ekowisata

[sunting | sunting sumber]

Hutan mangrove mempunyai manfaat penting bagi kehidupan masyarakat, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, tergantung kemampuan dan kemauan yang kemudian mendorong kegiatan itu terjadi. Masyarakat memiliki peranan penting dalam keberlanjutan pelestarian ekosistem mangrove. Potensi yang dimiliki hutan mangrove bisa dikembangkan dan dikelola dengan baik melalui dukungan, niat serta respon dari masyarakat dalam kegiatan konservasi hutan mangrove tersebut.[20]

Cara masyarakat melestarikan hutan mangrove adalah dengan mengembangkan kegiatan pembibitan dan penanaman mangrove bersama. Kegiatan pembibitan tanaman mangrove dapat dilakukan oleh berbagai kalangan instansi sekolah, masyarakat, pengelola, ataupun pengunjung. Adapun tujuan penanaman mangrove adalah agar jumlah pohon mangrove tetap stabil, dapat menggantikan fungsi dari pohon mangrove yang mengalami kerusakan baik akibat aktivitas manusia maupun faktor alam. Disisi lain, kegiatan rehabilitasi lahan kosong areal mangrove yang rusak juga merupakan upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat,[21] dimana penanaman bibit tanaman mangrove merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian hutan mangrove agar manfaatnya dapat dirasakan juga oleh generasi berikutnya, sehingga peranan masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya pelestarian hutan mangrove.[22]

Pelestarian hutan mangrove tidak hanya semata-mata dilakukan oleh masyarakat, peranan pemerintah pun juga dibutuhkan disini.[23] Selain melakukan kegiatan penanaman kembali, penanaman kesadaran kepada masyarakat serta peningkatan motivasi dalam menjaga dan memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan perlu dilakukan, baik itu dengan melakukan penyuluhan, mengajarkan dengan melakukan kegiatan secara langsung ataupun melalui bentuk-bentuk edukasi lainnya seperti poster, video, dan lain sebagainya. Peranan lain yang juga diperlukan disini adalah dengan memberikan surat izin usaha kepada masyarakat yang berdagang atau membuka usaha di sekitar, melakukan peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang konservasi, serta peningkatan pendapatan masyarakat pesisir hutan mangrove sehingga dapat menunjang perekonomian.

Masyarakat lokal dan lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kawasan ekowisata sehingga potensi dan partisipasi masyarakat perlu dikembangkan. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh manfaat serta diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam melestarikan lingkungan.[24] Suatu kegiatan dianggap ekowisata atau tidak dilihat partisipasi lokal beserta manfaatnya.[25] Konsep yang mendasari adalah pengurangan ketergantungan pada penggunaan sumber daya alam secara konsumtif melalui manfaat dari ekowisata. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata, masyarakat setempat dapat memperoleh penghasilan tambahan sekaligus menjaga keanekaragaman hayati.

Adanya ekowisata mangrove pasti akan mempengaruhi aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Hal ini dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak dari suatu kegiatan pembangunan pada aspek sosial ekonomi khususnya untuk negara berkembang meliputi beberapa komponen yang ditetapkan sebagai indikator sosial ekonomi, yaitu penyerapan tenaga kerja, berkembangnya struktur ekonomi, seperti timbulnya aktivitas perekonomian lain akibat proyek itu seperti toko, warung, restoran, transportasi dan lain-lain, peningkatan pendapatan masyarakat, kesehatan masyarakat, persepsi masyarakat, dan laju pertumbuhan penduduk, dan lain sebagainya.[26] Dampak positif dari ekowisata berdasarkan kacamata ekonomi antara lain, yaitu menciptakan kesempatan berusaha, menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar, meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah, meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB), mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya, dan memperkuat neraca pembayaran.

Keberadaan ekowisata hutan mangrove dapat merubah pola pikir masyarakat. Masyarakat mampu memanfaatkan peluang dan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Adanya ekowisata hutan mangrove dapat membuka lapangan pekerjaan yang baru bagi masyarakat sehingga angka pengangguran semakin berkurang. Masyarakat dapat berinovasi memanfaatkan sumber daya yang ada untuk meningkatkan ekonomi daerah mereka, seperti membuat cendera mata, olahan makanan atau minuman, dan pelayanan jasa transportasi. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi.[27] Hal ini juga dapat meningkatkan angka kriminalitas di sekitar kawasan. Dampak positif dalam aspek sosial antara lain pembangunan budaya dan modernisasi, pertukaran sosial, perubahan sosial, peningkatan citra masyarakat lokal, peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan fasilitas sosial, pendidikan, pelestarian budaya, dan perubahan politik kearah yang lebih baik. Sedangkan yang termasuk ke dalam dampak negatif adalah kehancuran budaya lokal, ketidakstabilan sosial, konsumerisme, perubahan dalam hukum dan keteraturan sosial, komersialisasi hubungan antarmanusia, perubahan nilai-nilai tradisional, dan ketidakstabilan politik.[27]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  • Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
  • Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
  • Tomlinson, P. B., 1986: The Botany of Mangroves, Cambridge University Press.

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Hutan Bakau Punya Manfaat Banyak Bagi Kehidupan - Suarapalu.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 12 Juni 2020. 
  2. ^ Wibowo, Dwi Mukti; ekonomi, Pemerhati masalah; Sosial; Kemanusiaan, Dan. "Save Our Sea: Melestarikan Mangrove, Mencegah Abrasi Pantai". Warta Ekonomi. Diakses tanggal 12 Juni 2020. 
  3. ^ "media.neliti.com" (PDF). Diakses tanggal 12 Juni 2020. 
  4. ^ a b Ronaldo Versus Birokrasi Pengelolaan Hutan Mangrove Yang Lamban
  5. ^ Suryanti, Supriharyono dan Anggoro, S. (2019). Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PDF). Semarang: Undip Press. hlm. 70. ISBN 978-979-097-679-5. 
  6. ^ R, Alfira (2014). Identifikasi Potensi dan Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove Pada Kawasan Suaka Margasatwa Mampie di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar. Makassar: Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. 
  7. ^ "Potensi pengembangan ekowisata mangrove di Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau". Jurnal Manusia dan Lingkungan. 24 (1): 23–30. 2017. 
  8. ^ I, Rini; AM, Setyobudi (2018). "Kajian Kesesuaian Daya Dukung dan Aktivitas Ekowisata di Kawasan Mangrove Lantebung Kota Makassar". Jurnal Pariwisata. 5 (1): 1–10. 
  9. ^ NTM, Kariada; A, Irsadi (2014). "Peranan mangrove sebagai biofilter pencemaran air wilayah tambak bandeng Tapak, Semarang". Jurnal Manusia dan Lingkungan. 21 (2): 188–194. 
  10. ^ HH, Fahrian; SP, Putri; F, Muhammad (2015). "Potensi ekowisata di kawasan mangrove, Desa Mororejo, Kabupaten Kendal". Biosaintifika. 7 (2): 104–111. 
  11. ^ YI, Rahmila; MAR, Halim (2018). "Mangrove forest development determined for ecotourism Mangunharjo Village Semarang". E3S Web of Conference. 73 (04010): 1–5. 
  12. ^ B, Utomo; S, Budiastuti; C, Muryani (2017). "Strategi pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara". Jurnal Ilmu Lingkungan. 15 (2): 117–123. 
  13. ^ MK, Wardhani (2011). "Kawasan konservasi mangrove: suatu potensi ekowisata". Jurnal Kelautan. 4 (1): 60–76. 
  14. ^ a b c E, Karlina (2015). "Strategi pengembangan ekowisata mangrove di kawasan Pantai Tanjung Bara, Kutai Timur, Kalimantan Timur". Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam. 12 (2): 191–208. 
  15. ^ Y, Kristiana (2019). Buku Ajar Studi Ekowisata. Sleman: Budi Utama. 
  16. ^ K, Umam; ST, Winanto (2015). "Strategi pengembangan ekowisata mangrove Wonorejo Surabaya". AGRARIS. 1 (1): 39–42. 
  17. ^ H, Sulistyowati (2009). "Biodiversitas mangrove di cagar alam Pulau Sempu". Jurnal Saintek. 8 (1): 59–63. 
  18. ^ MZ, Ayob; FM, Saman; Z, Hussin; K, Jusoff (2009). "Tourist's satisfaction in Kilim River mangrove forest ecotourism service". International Journal of Business and Management. 4 (7): 76–84. 
  19. ^ P, Nugraha; H, Indaro; AM, Helmi (2013). "Studi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk rekreasi pantai di Pantai Panjang Kota Bengkulu". Journal of Marine Research. 2 (2): 130–139. 
  20. ^ W, Putra (2014). "Kawasan ekowisata hutan mangrove di Desa Kuala Karang Kabupaten Kubu Raya". Jurnal Online Mahasiswa Arsitektur Universitas Tanjungpura. 2 (2): 41–55. 
  21. ^ R, Sugiarti (2020). "Upaya pelestarian hutan mangrove Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur untuk meningkatkan fungsi hutan mangrove". Journal of Science and Biology Education (BIOLOVA). 1 (1): 28–32. 
  22. ^ W, Setiawan; SP, Harianto; R, Qurniati (2017). "Ecotourism development to preserve mangrove conservation effort: case study in Mangasari Village, district of East Lampung, Indonesia". OCEAN LIFE. 1 (1): 14–19. 
  23. ^ AU, Lele (2017). "Pelestarian potensi ekowisata di kawasan hutan mangrove Desa Suwung Kauh Denpasar Selatan". Jurnal Ilmiah dwijenAGRO. 7 (1): 7–11. 
  24. ^ I, Nugroho (2011). Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 
  25. ^ DA, Friess (2017). "Ecotourism as a tool for mangrove conservation". Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education. 1 (1): 24–35. 
  26. ^ P, Andiny (2020). "Dampak pengembangan ekowisata hutan mangrove terhadap sosial dan ekonomi masyarakat di Desa Kuala Langsa, Aceh". Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis. 11 (1): 43–52. 
  27. ^ a b IG, Pitana; PG, Gayatri (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. 

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • Saenger, Peter (2002). Mangrove Ecology, Silviculture, and Conservation. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. ISBN 1-4020-0686-1.
  • Hogarth, Peter J. (1999). The Biology of Mangroves. Oxford University Press, Oxford. ISBN 0-19-850222-2.
  • Thanikaimoni, Ganapathi (1986). Mangrove Palynology UNDP/UNESCO and the French Institute of Pondicherry, ISSN 0073-8336 (E).
  • Tomlinson, Philip B. (1986). The Botany of Mangroves. Cambridge University Press, Cambridge, ISBN 0-521-25567-8.
  • Teas, H. J. (1983). Biology and Ecology of Mangroves. W. Junk Publishers, The Hague. ISBN 90-6193-948-8.
  • Plaziat, J.C., et al. (2001). "History and biogeography of the mangrove ecosystem, based on a critical reassessment of the paleontological record". Wetlands Ecology and Management 9 (3): pp. 161–179.
  • Sato, Gordon; Riley, Robert; et al. Growing Mangroves With The Potential For Relieving Regional Poverty And Hunger WETLANDS, Vol. 25, No. 3 – September 2005
  • Jayatissa, L. P., Dahdouh-Guebas, F. & Koedam, N. (2002). "A review of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka". Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29–43.
  • Warne, K. (February 2007). "Forests of the Tide". National Geographic pp. 132–151
  • Aaron M. Ellison (2000) "Mangrove Restoration: Do We Know Enough?" Restoration Ecology 8 (3), 219–229 DOI:10.1046/j.1526-100x.2000.80033.x
  • Agrawala, Shardul; Hagestad; Marca; Koshy, Kayathu; Ota, Tomoko; Prasad, Biman; Risbey, James; Smith, Joel; Van Aalst, Maarten. 2003. Development and Climate Change in Fiji: Focus on Coastal Mangroves. Organisation of Economic Co-operation and Development, Paris, Cedex 16, France.
  • Barbier, E.B., Sathirathai, S., 2001. Valuing Mangrove Conservation in Southern Thailand. Contemporary Economic Policy. 19 (2) 109–122.
  • Bosire, J.O., Dahdouh-Guebas, F., Jayatissa, L.P., Koedam, N., Lo Seen, D., Nitto, Di D. 2005. How Effective were Mangroves as a Defense Against the Recent Tsunami? Current Biology Vol. 15 R443-R447.
  • Bowen, Jennifer L., Valiela, Ivan, York, Joanna K. 2001. Mangrove Forests: One of the World's Threatened Major Tropical Environments. Bio Science 51:10, 807–815.
  • Jin-Eong, Ong. 2004. The Ecology of Mangrove Conservation and Management. Hydrobiologia. 295:1-3, 343–351.
  • Glenn, C. R. 2006. "Earth's Endangered Creatures" (Online). Accessed 4/28/2008 at http://earthsendangered.com.
  • Lewis, Roy R. III. 2004. Ecological Engineering for Successful Management and Restoration of Mangrove Forest. Ecological Engineering. 24:4, 403–418.
  • Kuenzer, C., Bluemel A., Gebhardt, S., Vo Quoc, T., and S. Dech. 2011. "Remote Sensing of Mangrove Ecosystems: A Review". Remote Sensing 3: 878-928; doi:10.3390/rs3050878
  • Lucien-Brun H. 1997. Evolution of world shrimp production: Fisheries and aquaculture. World Aquaculture. 28:21–33.
  • Twilley, R. R., V.H. Rivera-Monroy, E. Medina, A. Nyman, J. Foret, T. Mallach, and L. Botero. 2000. Patterns of forest development in mangroves along the San Juan River estuary, Venezuela. Forest Ecology and Management.
  • Murray, M.R., Zisman, S.A., Furley, P.A., Munro, D.M., Gibson, J., Ratter, J., Bridgewater, S., Mity, C.D., and C.J. Place. 2003. "The Mangroves of Belize: Part 1. Distribution, Composition and Classification." Forest Ecology and Management 174: 265–279
  • Cherrington, E.A., Hernandez, B.E., Trejos, N.A., Smith, O.A., Anderson, E.R., Flores, A.I., and B.C. Garcia. 2010. "Identification of Threatened and Resilient Mangroves in the Belize Barrier Reef System." Technical report to the World Wildlife Fund. Water Center for the Humid Tropics of Latin America and the Caribbean (CATHALAC) / Regional Visualization & Monitoring System (SERVIR). 28 pp. http://maps.cathalac.org/Downloads/data/bz/bz_mangroves_1980-2010_highres.pdf Diarsipkan 2011-07-25 di Wayback Machine.
  • Vo Quoc, T., Kuenzer, C., Vo Quang, M., Moder, F., and N. Oppelt, 2012. "Review of Valuation Methods for Mangrove Ecosystem Services". Journal of Ecological Indicators, 23: 431-446
  • Vreugdenhil, D., Meerman, J., Meyrat, A., Gómez, L.D., and D.J. Graham. 2002. "Map of the Ecosystems of Central America: Final Report." World Bank, Washington, DC. 56 pp.

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Hamilton, S. (2013) Assessing the Role of Commercial Aquaculture in Displacing Mangrove Forest. Bulletin of Marine Science 89(2): 585-601.
  • Spalding, Mark; Kainuma, Mami and Collins, Lorna (2010) World Atlas of Mangroves Earthscan, London, ISBN 978-1-84407-657-4; 60 maps showing world-wide mangrove distribution
  • Massó i Alemán, S., C. Bourgeois, W. Appeltans, B. Vanhoorne, N. De Hauwere, P. Stoffelen, A. Heaghebaert & F. Dahdouh-Guebas, 2010. The ‘Mangrove Reference Database and Herbarium’. Plant Ecology and Evolution 143(2): 225-232.
  • Vo Quoc, T., Oppelt, N., Leinenkugel, P. & Kuenzer, C., 2013. Remote Sensing in Mapping Mangrove Ecosystems - An Object-based Approach. Remote Sensing 5(1): 183-201.
  • Vo Quoc, T., Kuenzer, C., Vo Quang, M., Moder, F. & Oppelt, N., 2012. Review of Valuation Methods for Mangrove Ecosystem Services. Journal of Ecological Indicators 23: 431-446.
  • Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Vo Quoc, T. & Dech, S., 2011. Remote Sensing of Mangrove Ecosystems: A Review. Remote Sensing 3(5): 787-928.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]